Cari Blog Ini

Jumat, 24 Juni 2011

Antara Gayus dan Ruyati


Gayus dan Ruyati. Mereka bukanlah keluarga. Tidak pula saling bersaudara.Mereka juga tidak akan pernah bertegur sapa karena mereka memang tidak pernah bersua, terlebih ketika Ruyati kini telah tiada.
Namun apabila silsilahnya ditelusuri sampai jauh, keduanya ternyata memiliki banyak persamaan. Persamaannya, mereka berasal dari spesies yang sama, homo sapiens. Mereka juga berbangsa yang satu, bertanah air yang satu, serta menjunjung tinggi bahasa persatuan yang juga satu.Semua Indonesia.

Sayangnya, soal nasib, keduanya sangat berbeda. Ibarat langit dengan bumi.Gayus bisa melakukan korupsi yang menghasilkan patgulipat materi. Gayus nyaris memiliki segalanya. Harta yang berlimpah, istri setia yang jelita,rumah mewah, dan uang yang mungkin bisa untuk membeli segalanya.Termasuk untuk membeli hukum yang dijual murah di negeri ini.

Adapun Ruyati,nasib justru mengajaknya menjadi seorang TKI di Arab Saudi sekadar demi tabungan untuk hari tua.Yang memiriskan, alih-alih mendapatkan lembaran riyal dan kepingan dirham, justru dera dan siksa pedih yang harus dialami hingga membuatnya khilaf membunuh majikannya. Ruyati tidak sendiri. Ia hanya melanjutkan kisah dalam daftar panjang nestapa anak negeri di rantau.

Kuldesak Penghidupan

Rasa trenyuh dan pilu itu sungguh telah penulis rasakan dalam setiap kesempatan berinteraksi memberikan pembekalan psikologis kepada calon TKI.Melihat para ahli waris “Kartini”yang begitu lugu dan polos, dipaksa mempertaruhkan hidup di negeri orang, sungguh hati ini miris dibuatnya.

Terlebih apabila kita tahu betapa minimnya bekal keterampilan yang mereka bawa. Kursus kilat di Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) yang hanya beberapa hari itu sungguh takkan mampu memberikan keterampilan yang mumpuni bagi TKI kita. Terbatasnya bekal kompetensi dan keahlian yang mereka miliki membuat mereka hanya menjadi pegawai berkasta terendah.

Terlebih dengan penguasaan bahasa asing yang sangat terbatas, ekstremnya hanya sekadar yes dan no atau laa dan na’am, sungguh tidak mudah bagi TKI kita untuk bisa bekerja dengan sejahtera. Kondisi itu masih diperparah dengan minimnya keberpihakan pemerintah, lemahnya perlindungan, serta ulah PJTKI nakal yang sering “memeras” jasa TKI dan mengabaikan hak-hak mereka.

Tanpa jaminan perlindungan hukum dan diplomasi yang memadai,mereka sungguh hanya akan menjadi bulan-bulanan para majikan, disiksa, didera, diperkosa, atau direnggut paksa nyawa dan kehidupannya. Namun, sesungguhnya, apabila kita berkenan merunut lebih jauh, pengambilan keputusan menjadi TKI sesungguhnya tidaklah sederhana.

Bagi sebagian besar TKI, luar negeri adalah mimpi perbaikan kehidupan karena di dalam negeri mereka telah mengalami kuldesak penghidupan. Mereka tak lagi kuasa menjerit karena kebutuhan hidup yang semakin mencekik, sementara lapangan pekerjaan kelewat sulit untuk dicari. Pemiskinan struktural telah menjerat dan memaksa mereka menjadi money provider bagi keluarganya dengan bekerja di negeri orang.

Bagi sebagian besar TKI, menggantang asap rezeki dengan bekerja di luar negeri sungguh tak lebih dari sebuah keterpaksaan. Mereka seakan tengah “berjudi”dengan nasib. Menjalani hidup sebagai TKI sungguh sangat tidak sederhana.Keterpisahan dari keluarga selama bertahuntahun akan membawa dampak psikososial yang tidak ringan tidak hanya bagi TKI,tapi juga bagi anak,suami,dan keluarga di Indonesia.

Anak-anak yang dibesarkan tanpa sentuhan orang tua, terlebih ibunda mereka,dalam perspektif psikologi berpotensi mengalami tumbuh-kembang yang relatif lebih sulit, apalagi jika tanpa figur pengganti orang tua.Beberapa anak “TKI sukses” tumbuh menjadi remaja yang bermasalah akibat dimanja dengan harta tanpa pengawasan dan didikan orang tua.

Ditinggalkan istri selama bertahun-tahun, bagi suamisuami normal,tentu saja bukan perkara yang sederhana. Pintupintu kasus perselingkuhan dan perceraian menjadi terbuka lebar.Sementara di luar negeri, TKI kita juga menghadapi tantangan dan godaan yang tak kalah besarnya. Manfaat dan mudarat itu lantas akan kembali pada pribadi masing-masing.

Pembiaran Negara

Siapa pun kita, termasuk Gayus,Ruyati, politisi,pejabat maupun jutaan TKI di luar negeri, sesungguhnya adalah sesama anak bangsa yang berhak mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kita adalah warga sebuah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam sehingga semestinya layak untuk disejahterakan.

Negara,termasuk pula anggota Dewan yang terhormat, terlihat tidak serius untuk mengusaikan nestapa kemanusiaan ini. Para penguasa negeri ini masih saja sibuk berebut soal kekuasaan, bermain “kleptolitik” (kleptomania- politik) yang saling menyandera.

Negara sungguh tengah melakukan pembiaran ketika tidak serius menegakkan hukum, memberantas mafia peradilan, serta memberantas korupsi dan mengembalikan harta rakyat yang dijarah-rayah para koruptor. Cerita Gayus sengaja penulis angkat sebagai ilustrasi artikel ini, sungguh, sebagai sebuah pengingat agar kita tidak kembali lupa, betapa korupsi telah memiskinkan negeri ini hingga warganya hidup kesrakat dan melarat.

Jika Rp100 miliar patgulipat pajak yang berhasil digondol Gayus dengan komplotannya dihibahkan, setidaknya akan ada 10.000 calon TKI yang terselamatkan karena mendapat dana segar sebesar Rp10 juta rupiah. Jumlah yang mungkin cukup untuk memulai sebuah usaha sehingga mereka tidak perlu bertaruh harga diri menjadi TKI.

Moratorium TKI sungguh akan terjadi dengan sendirinya manakala masyarakat kita sejahtera. Seandainya TKI harus tetap ada, semestinya mereka telah mendapatkan program pendidikan dan pelatihan yang memadai sehingga mereka tidak menjadi pekerja berkasta rendahan yang dinista di negeri orang.

Tragedi kemanusiaan yang menimpa Ruyati, Sumiati, Ceriati,Kikim Komalasari,dan jutaan saudara kita yang menggantang asap di luar negeri mungkin tidak akan terjadi. Cerita pilu TKI kita yang diiris sembilu di negeri seberang mungkin segera akan berlalu. Semua kini berpulang kepada kita.● ACHMAD M AKUNG Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar